Gaya Hidup Tidak Sehat Gen Z: Pergeseran Perilaku yang Diam-Diam Meningkatkan Risiko Diabetes

7 Fakta Gaya Hidup Tidak Sehat Gen Z yang Bikin Risiko Diabetes Meningkat

Beberapa tahun terakhir, para dokter penyakit dalam dan peneliti kesehatan masyarakat mulai melihat pola yang mengkhawatirkan: semakin banyak anak muda—terutama Gen Z—yang terdiagnosis diabetes tipe 2. Jika dulu penyakit ini banyak dikaitkan dengan usia lanjut, kini pola tersebut berubah drastis. Kasus diabetes melitus tipe 2 di kalangan anak muda meningkat, menunjukkan transformasi besar dalam gaya hidup dan perilaku generasi yang tumbuh dengan akses digital tanpa batas.

Fenomena ini bukan hanya gejala medis. Ia adalah cermin perubahan budaya, lingkungan sosial, tren makanan, pola konsumsi konten, dan tekanan hidup modern yang memengaruhi cara Gen Z makan, beraktivitas, dan memahami kesehatan.

Dalam konteks inilah istilah gaya hidup tidak sehat Gen Z bukan lagi sekadar kritik moral, tetapi gambaran kompleks tentang bagaimana anak muda membangun hubungannya dengan makanan, hiburan, dan tubuh mereka.


Dari “Penyakit Genetik” ke “Penyakit Gaya Hidup”: Pergeseran Diabetes pada Usia Muda

Spesialis penyakit dalam, dr. Dicky Lavenus Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, menjelaskan bahwa peningkatan diabetes tipe 2 pada anak muda terjadi akibat kombinasi pola makan tinggi karbohidrat, konsumsi makanan ultra-proses, serta aktivitas fisik yang rendah. Secara medis, ini jelas. Namun secara sosial, perubahan ini tidak muncul dalam ruang hampa.

Dulu, kebanyakan kasus diabetes pada usia muda adalah diabetes tipe 1—kondisi autoimun yang sulit dicegah. Tetapi kini, semakin banyak anak muda mengalami diabetes tipe 2, yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup.

Pergeseran ini menunjukkan bahwa pola makan dan gaya hidup modern mengubah lanskap kesehatan generasi muda secara signifikan.

Namun, apa yang sebenarnya membuat pola tersebut terbentuk?

Analisis sosial memberi tiga jawaban utama: budaya konsumsi instan, tekanan sosial untuk serba cepat, dan lingkungan fisik yang makin tidak ramah bagi hidup sehat.


1. Budaya Makan Instan: Ketika Praktis Lebih Dipilih daripada Sehat

Gaya hidup tidak sehat Gen Z sangat terlihat dari pola konsumsi yang didorong oleh akses:

• makanan cepat saji
• minuman manis siap minum
• snack ultra-proses yang murah dan mudah ditemukan
• promosi aplikasi pemesanan makanan yang hadir 24/7

Makanan ultra-proses memiliki karakteristik:
tinggi kalori, rendah serat, rendah nutrisi, tetapi sangat memicu nafsu makan.

Secara sosial, Gen Z tumbuh di era ketika waktu dianggap sangat berharga. Pekerjaan freelance, tugas kuliah, aktivitas digital, gaming, hingga multitasking membuat mereka memilih makanan yang paling cepat. Makanan sehat sering dianggap “ribet”, “tidak enak”, atau “butuh waktu”.

Dampaknya adalah peningkatan risiko obesitas dan resistensi insulin. Kombinasi ini menjadi pintu masuk diabetes tipe 2 di usia muda.


2. Lingkungan yang Tidak Mendukung Aktivitas Fisik

Gen Z adalah generasi yang mobilitasnya lebih rendah dibanding generasi sebelumnya. Tidak selalu karena malas, tetapi karena:

• ruang publik yang kurang ramah olahraga
• jalanan yang tidak aman untuk berjalan kaki
• jam belajar/pengasuhan digital yang tinggi
• budaya hiburan yang berbasis layar

Menurut dr. Dicky, aktivitas fisik rendah mempercepat risiko diabetes tipe 2. Namun dari sisi sosiologi, lingkungan sosiallah yang sering membuat aktivitas fisik sulit dilakukan.

Tanpa ruang bermain, taman kota yang minim, dan transportasi umum yang buruk, anak muda akan tinggal di ruang privatnya—yang sering berarti lebih banyak waktu di gadget.


3. Overstimulasi Digital dan Pola Makan Emosional

Generasi muda saat ini hidup dalam paparan konten tanpa henti: video pendek, trend challenge, kuliner viral, iklan minuman manis, hingga influencer mukbang.

Konten-konten ini membentuk kebiasaan makan yang impulsif.

Paparan visual makanan tinggi gula dan tinggi lemak membuat otak merespons seolah-olah ada kebutuhan konsumsi, meski tubuh tidak lapar. Akibatnya, pola makan emosional meningkat—makan bukan karena lapar, tetapi karena stres, bosan, atau mencari kenyamanan.

Sebagai peneliti sosial kesehatan, saya melihat fenomena ini bukan sekadar konsumsi berlebihan, tetapi bentuk coping mechanism dari tekanan sosial yang dialami Gen Z: kecemasan masa depan, tuntutan akademik, dan kultur produktivitas.


4. Ketidakseimbangan antara Pengetahuan dan Perilaku

Menariknya, Gen Z adalah generasi dengan akses pengetahuan kesehatan yang sangat luas. Namun pengetahuan ini tidak selalu diterjemahkan menjadi perilaku.

Banyak anak muda tahu risikonya, tetapi tetap mengonsumsi makanan tinggi gula dan lemak. Social reward, kenyamanan, dan kebutuhan emosional hampir selalu mengalahkan logika kesehatan.

Dr. Dicky menyebut edukasi sebagai kunci utama. Tetapi edukasi pada generasi yang tumbuh dengan internet bukan sekadar memberikan informasi—melainkan membangun kesadaran dan kedekatan melalui pendekatan yang relevan secara budaya.


5. Lingkungan Sosial yang Mengubah Makna “Sehat”

Dalam riset sosial, “sehat” tidak hanya berarti bebas penyakit. Ia juga mencerminkan identitas dan gaya hidup.

Di kalangan Gen Z, gaya hidup sehat sering diasosiasikan dengan:

• olahraga trendi seperti gym, yoga modern, atau pilates
• smoothie bowl estetik
• konten influencer yang mempromosikan body goals tertentu

Masalahnya, akses ke model hidup sehat seperti ini tidak merata. Bagi sebagian besar Gen Z, makanan murah dan praktis lebih realistis daripada makanan organik mahal. Hal ini membuat ketimpangan kesehatan semakin besar.

Ketidakmerataan ini mengikat generasi muda dalam siklus risiko: tahu apa yang lebih sehat, tetapi tidak selalu mampu mewujudkannya.


6. Perubahan Pandangan Medis terhadap Diabetes Anak Muda

Dr. Dicky menekankan bahwa dokter kini tidak lagi bisa mengasumsikan bahwa anak muda dengan diabetes pasti mengalami diabetes tipe 1. Pendekatan klinis berubah karena pola kasus pun berubah.

Ini adalah pengakuan medis terhadap realitas sosial: gaya hidup tidak sehat Gen Z menciptakan pola penyakit baru pada generasi yang lebih muda.

Sekali lagi, faktor sosial menjadi kunci pemahaman—bukan sekadar faktor genetik.


7. Apa yang Bisa Dilakukan? Pendekatan Sosial Lebih Efektif daripada Menyalahkan Generasi

Untuk mengurangi risiko diabetes, pendekatan gaya hidup harus dimulai dari perubahan sosial, bukan menyalahkan individu. Beberapa langkah yang realistis:

  1. Menciptakan ruang publik ramah olahraga, agar aktivitas fisik tak lagi dianggap mewah.
  2. Mengurangi paparan iklan makanan ultra-proses yang menyasar anak muda.
  3. Mempromosikan komunitas makan sehat yang inklusif, bukan elitis.
  4. Mengajak sekolah dan kampus membuat program pencegahan diabetes berbasis edukasi budaya.
  5. Menggunakan pendekatan digital yang relevan, misalnya edukasi kesehatan melalui konten visual pendek, bukan ceramah panjang.

Internal link ke https://slowstead.com/ sangat relevan sebagai referensi pembaca untuk gaya hidup sehat dan edukasi kesehatan lainnya.


Kesimpulan: Diabetes Gen Z Bukan Masalah Medis Saja, Tetapi Masalah Sosial

Gaya hidup tidak sehat Gen Z menggambarkan transformasi besar dalam cara generasi muda berinteraksi dengan makanan, teknologi, lingkungan, dan tubuh mereka. Diabetes tipe 2 di usia muda bukan hanya sinyal masalah metabolik, tetapi sinyal bahwa struktur sosial kita berubah lebih cepat daripada kemampuan sistem kesehatan untuk mengantisipasinya.

Di masa depan, upaya menekan risiko diabetes pada Gen Z harus dilakukan melalui pendekatan kolaboratif: kesehatan masyarakat, edukasi digital, rekayasa lingkungan, dan perubahan budaya konsumsi.

Dengan memahami akar sosial masalah ini, kita bisa membantu generasi muda membangun masa depan yang lebih sehat—secara fisik, mental, dan sosial.